TEMPO.CO, Jakarta - Koalisi masyarakat sipil menyatakan akan mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi jika Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau RKUHP tetap disahkan oleh pemerintah dan Dewan Perwakilan. Mereka menganggap banyak pasal bermasalah dalam RKUHP tersebut yang justru mengancam demokrasi.
"Kami akan judicial review ke MK," kata Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati kepada Tempo, Senin, 16 September 2019.
DPR dan pemerintah berkukuh akan mengesahkan RKUHP di bulan September ini. Kemarin malam, kedua pihak telah merampungkan pembahasan RKUHP dalam rapat final yang digelar di Hotel Fairmont, Senayan, Jakarta sejak Sabtu, 14 September 2019.
Sedari lama, koalisi masyarakat sipil menilai RKUHP memuat pasal-pasal bermasalah yang justru berwatak kolonial. Koalisi menilai rumusan RKUHP bertentangan dengan klaim DPR dan pemerintah yang melakukan dekolonialisasi UU hasil peninggalan Belanda itu.
Meski mendapat banyak kritik, DPR bergeming. Sejumlah anggota Komisi Hukum DPR mempersilakan saja para pihak yang tak sepakat untuk mengajukan uji materi ke MK.
"JR (judicial review) silakan saja. Tentu nanti akan dilihat apakah pasal atau UU itu bertabrakan dengan konstitusi kita atau tidak," kata anggota Panitia Kerja DPR untuk RKUHP Taufiqulhadi kepada Tempo, Ahad, 15 September 2019.
Hal senada disampaikan Ketua DPR Bambang Soesatyo. Dia menilai kritik-kritik yang ada hanyalah upaya berulang setiap tahun untuk menggagalkan pengesahan RKUHP.
"Ya dipersilakan saja (judicial review). Ini kan upaya yang selalu tiap tahun untuk menggagalkan RKHUP. Harusnya mereka bangga mendorong UU ini agar segera diundangkan," kata Bamsoet di Hotel Ritz Carlton, Kuningan, Jakarta Selatan, Ahad malam, 15 September 2019.
Peneliti Institute for Criminal Justice Reform Erasmus Napitupulu, tanggapan semacam ini sudah kerap terlontar dari anggota DPR, khususnya tim perumus RKUHP. Dia pun menyebut sikap para anggota Dewan ini menunjukkan mereka tak peduli pada suara rakyat.
"Tim perumus berkali-kali bilang JR aja. Ya mungkin mereka tak peduli pada rakyat," kata Erasmus kepada Tempo.
Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar menyebut sikap DPR itu merupakan arogansi. Dia menilai DPR seperti tak menyadari eksistensinya sebagai wakil rakyat yang berkewajiban menyerap aspirasi masyarakat.
Fickar pun menganggap Indonesia saat ini mengalami krisis kenegarawanan yang bijaksana dan akomodatif terhadap masyarakat.
"Yang banyak sekarang oligarki yang hanya peduli pada kepentingan kelompoknya. Kita krisis kepemimpinan yang negarawan pada smua level tingkatan," ucap Fickar.